Pandemi Corona yang melanda seluruh dunia menyebabkan perubahan di segala bidang, baik bidang politik, ekonomi, pendidikan, atau sosial budaya. Seluruh aktivitas masyarakat menjadi sedikit terhambat dengan adanya kebijakan pembatasan wilayah untuk menghindari peningkatan penyebaran virus. Pandemi Corona juga menyebabkan kecemasan yang terjadi pada sebagian besar masyarakat dunia, baik dalam sisi ekonomi maupun sisi kesehatan. Dalam bidang ekonomi, pelaku usaha dan karyawan sama-sama menghadapi ketidakjelasan ekonomi karena pandemi. Sementara itu, dalam bidang kesehatan, banyak masyarakat yang terdampak virus SARS-COV-2 tersebut, bahkan hingga mengalami kematian. Beberapa hal tersebut yang menjadi penyebab dari apa yang disebut sebagai Coronaphobia. Coronaphobia merupakan istilah yang baru muncul saat pandemi dan memiliki arti ketakutan berlebih terhadap virus Corona. Sebenarnya, kecemasan yang timbul saat pandemi merupakan hal normal. Namun, apabila sampai pada tahap yang berlebihan, seseorang tersebut bisa saja mengalami Coronaphobia dan memerlukan bantuan ahli kejiwaan, seperti mengunjungi psikolog puskesmas terdekat.
Coronaphobia dan Kecemasan Biasa: Apa Perbedaannya?
Kecemasan yang terjadi selama masa pandemi Corona sebenarnya merupakan respons yang wajar terjadi. Namun, hal tersebut akan berbeda jika seseorang mengalami ketakutan berlebih terhadap Corona sehingga seseorang yang mengalami hal tersebut kemudian mengalami Coronaphobia. Seperti halnya penderita gangguan kecemasan lain, penderita Coronaphobia memerlukan bantuan tenaga psikologi, seperti psikolog puskesmas terdekat.
Berdasarkan informasi dari situs resmi National Center for Biotechnology Information (NCBI), terdapat tiga aspek yang terkait dengan Coronaphobia.
1. Aspek fisiologis
Seseorang yang terkena Coronaphobia mengalami gejala-gejala fisiologis, seperti keringat berlebih, tremor, kesulitan bernapas, pusing, serta perubahan pola makan dan tidur.
2. Aspek kognitif
Selain aspek fisiologis, ketakutan yang berlebih terhadap Corona berpengaruh pada pikiran seseorang. Sebagai contoh, penderita Coronaphobia akan berpikir “aku akan mati jika terkena virus Corona”, “aku tidak akan dapat bekerja dan bisa kehilangan pekerjaan”, serta “keluargaku dalam bahaya dan mereka akan mati”. Pikiran-pikiran tersebut kemudian dapat menimbulkan emosi, seperti rasa sedih, bersalah, atau marah.
3. Aspek tingkah laku
Penderita Coronaphobia memiliki pola tingkah laku menghindar. Mereka merasa ketakutan jika harus menggunakan transportasi umum, menyentuh permukaan benda apa pun, berada pada tempat tertutup atau terbuka, serta takut mengantre. Ketakutan seseorang terhadap hal-hal tersebut kemudian berpengaruh terhadap pola tingkah laku terkait kesehatan. Sebagai contoh, orang tersebut akan lebih sering mencuci tangan dan memeriksa kesehatan tubuh.
Baca juga: Drama Korea yang Akan Membangkitkan Semangat Bisnis Anda
Faktor Risiko Penyebab Coronaphobia
Mengutip dari artikel Neurobiology of Fear and Spesific Phobias, pengalaman traumatis dapat menyebabkan seseorang mengalami fobia. Dalam konteks Coronaphobia, jumlah kasus kematian dan orang yang terjangkit virus Corona di seluruh dunia merupakan hal yang traumatis bagi sebagian besar masyarakat. Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika akhirnya terdapat orang-orang yang mengalami Coronaphobia. Faktor-faktor berikut merupakan dasar dari fenomena Coronaphobia.
1. Ketidakpastian yang belum berakhir
Salah satu hal yang menjadikan pandemi Corona bersifat unik adalah ketidakpastian yang menyertainya. Setelah lima bulan teridentifikasi, para peneliti bahkan masih terus berusaha menemukan jawaban dari asal mula virus Corona. Hal tersebut menyebabkan masih kurangnya informasi mengenai mutasi genetik SARS-COV-2 dan pengaruhnya terhadap kasus-kasus tanpa gejala, masa inkubasi virus, kemampuan beradaptasi virus terhadap lingkungan baru, serta variasi virus.
2. Realita yang tidak bisa ditebak
Pandemi Corona menyebabkan segala sesuatu menjadi tidak pasti dan mengganggu stabilitas yang ada dalam masyarakat. Selain itu, kebijakan-kebijakan terkait Corona, seperti lockdown, karantina, dan isolasi mandiri seakan menjadikan masyarakat berada dalam “penjara”. Hal tersebut kemudian dapat berimplikasi pada peluang terjadinya Coronaphobia.
3. Infodemia
Penggunaan media sosial yang begitu erat dengan kehidupan manusia sehari-hari menyebabkan penyebaran arus informasi semakin masif, termasuk mengenai virus Corona. Terlalu banyak informasi yang beredar menyebabkan masyarakat mengalami kebimbangan dalam menentukan sumber informasi yang valid. Hal tersebut kemudian dapat menyebabkan masyarakat mengalami kecemasan, yang dapat mengarah kepada Coronaphobia.
Langkah Penanganan Coronaphobia
Sama seperti penderita gangguan kecemasan lainnya, seseorang yang mengalami kecemasan atau fobia terhadap Corona dapat melakukan Cognitive Behavioural Therapy (CBT) atau terapi perilaku kognitif. Sebagai contoh, penderita Coronaphobia dapat mengunjungi psikolog puskesmas terdekat untuk melakukan terapi tersebut. Kemudian, langkah lain yang dapat dilakukan yaitu dengan membatasi informasi dari media sosial untuk menghindari kecemasan. Selain itu, menjaga kesehatan tubuh dan hubungan dengan orang lain juga dapat membantu seseorang mengatasi Coronaphobia yang terjadi dalam diri orang tersebut.